UNFINISHED LOVE STORY PART 4

Ruangan putih. Dinding dan sofa putih. Meja dan rak buku putih. Tiga orang resepsionis cantik berpakaian putih seperti para wanita di iklan perawatan wajah, salah satunya yang pernah Jenna buat. Dan Jenna duduk membungkuk berpangku tangan di salah satu sofa putih, menunggu namanya di panggil. Jaket pinknya berpadu dengan celana hijau dan boots coklat, membuat Jenna terlihat seperti bunga aneh yang tiba-tiba tumbuh di antara hutan berselimut salju.

“Jenna.” Seorang perawat cantik tersenyum dan membuka pintu putih di tengah ruangan. Jenna berdiri dan perlahan masuk.

“Jennaaaaaa!!!!!” Audrey setengah berteriak dan bergegas menghampiri Jenna dan memeluknya. “Akhirnyaaaa, akhirnyaaaa lo mau dateng ke klinik kecantikaaannn!!! Pasti malaikat surga sedang bernyanyi sekaraaanggg!” Audrey tertawa sambil kembali duduk di meja putihnya.

“Woy, gue bukan bertobat, cuma ke klinik kecantikan kaleee!” Jenna duduk dihadapan Audrey dan melihat sekeliling. “Kenapa putih semua sih?”

“Bawel ah! Ayo silakan tidur dulu di sana, gue mau liat muka lo di bawah lampu.” Audrey menunjuk tempat tidur putih di sisi ruangan itu. Seorang perawat menghampiri Jenna, ia memegang beberapa berkas dan sebuah kamera digital kecil.

“Eh ini mo diapain?” Jenna sedikit panik.

“Foto dulu yaaa..” sang perawat tersenyum ramah.

“Difoto dulu Jen, buat before after, trus lo isi beberapa berkas, baru abis itu gue periksa. Aduuh seneng bangeettt akhirnya lo peduli ama perawatan wajah. Abis ini, lo gue jadwalin facial ya, terus kayaknya muka lo agak kering kan, jadi ntar gue kasih pelembab khusus.” Audrey terlihat antusias.

“Wait, waiittt!” Jenna mengangkat sebelah tangannya. “Gue gak dateng buat itu!” suara Jenna meninggi. Audrey dan sang perawat terdiam dan terlihat bingung. Jenna menghela napas, “Ehm… ini bukan tentang wajah gue…”

“Oh?” Sang perawat bertambah bingung dan melihat ke arah Audrey.

“Gini, umm, ini tentang… agak pribadi suster, saya gak berani ke dokter kulit lain, makanya ke sahabat saya…” Jenna menatap Audrey yang dibalas dengan tatapan bingung sahabatnya. “Ini tentang sesuatu di bagian bawah, you know, ehm pantat saya. Ada lingkaran hitam dan berbulu dan suka mengganggu. Jadi gak usah di foto ya suster, pleaseeee….” Jenna tersenyum memelas.

“Oh iya, baiklah…” sang suster terlihat salah tingkah. Ia memberikan Jenna beberapa kertas yang harus diisi.

“Iya ini saya isi nanti, boleh yaaaa?” Jenna menatapnya tajam, namun sambil tersenyum lebar.

“Udah, gapapa, nanti sama saya aja.” Audrey tersenyum dan mengangguk. Dia mulai paham maksud sahabatnya Jenna. Sang suster pun segera meninggalkan ruangan.

“Haduuuh, akhirnyaaaa…!” Jenna merentangkan tangan dan selonjoran di kursi.

“Itu tadi apa-apaan sih! Sejak kapan lo punya tompel berbulu di pantat?” Audrey menatap Jenna tajam.

“Ya sejak barusan!”

“Lo pasti mau curhat yaaa?”

“Hhhh…iya…” Jenna menghela napas.

“Pasti tentang Nick yaaaaa!” mata Audrey kembali berbinar.

“Bukaaan! Hadeeeuh, knapa dia mulu sih bahasan lo!”

“ Yah kan jarang-jarang lo deket ma cowo Jen, biasanya sekali date doang terus gak ada kelanjutannya lagi. Yang ini lumayan nih, udah tiga kali jalan ya?”

“Buset, lo ngitungin?”

“Iya, dikit ini… baru tiga!”

“Sialan!”

“Jadi tentang apa?”

“Ryan!” Jenna mendengus.

“Hah?! Lo ada affair ama dia?” Audrey berseru.

“Kagaaaak! Gila ya lo, dia udah kayak abang gue! Dia resign!” Jenna menghela napas.

“Bagus dong? Lo bisa naik jadi CD gantiin dia! Kemana si Ryan? Agency local ato multinasional?”

“Nah itu dia. Seandainya dia pindah ke agency lain!” Jenna membenamkan mukanya di tangannya yang terlipat di meja.

“Lha emang dia kemana? Jen, mukanya jangan sembarangan kena tangan dan meja gitu, makanya suka jerawatan deh ah!” Audrey menepuk lengan Jenna.

“Lo tau dia kemana?!!!! Lo tau dia kemanaaaaa??!!!” serta merta Jenna mengangkat wajahnya, menjawab Audrey dengan suara tinggi.

“Kaga tauuu! Woooy, gue nanya elo!” Audrey terlihat gemas.

“Drey, lo ga akan percaya. Ryan, seorang Creative Director yang gue kagumi selama ini, membuang karir cemerlangnya di advertising agency demi sebuah shelter untuk anjing-anjing dan kucing-kucing terlantar!” Jenna menjawab dengan lemas.

“Wow! Awesomeness!” diluar dugaan Jenna, Audrey terlihat antusias mendengarnya. Jenna melihat kedua mata sahabatnya berbinar-binar, yang membuat kepala Jenna cenat cenut.

“Kok lo seneng sih!!!”

“Lha, emang harus seneng dong! Satu, elo bisa naik jabatan. Kedua, Ryan akhirnya menemukan calling nya, tujuan hidupnya. Alasan kenapa dia ada di dunia!”

“Tidaaakkk!!!! Lo juga sama aja sama diaaaa!” Jenna menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

“Sama aja kenapa sih? Jenna, sumpaaah lo aneh bangeeettt!”

“Sekarang gua mau tanya ama elo. Lo tau gak alasan kenapa lo ada di dunia?” Jenna menatap Audrey tajam. Diam-diam ia berharap Audrey tidak bisa menjawab pertanyaan itu, sama seperti dirinya.

“Ya tau dong! Untuk jadi dokter kecantikan, biar banyak wanita-wanita lebih sadar akan kesehatan kulit dan wajah dan merawat dirinya, gak cuek kayak elo gitu!” Audrey menjawab panjang lebar.

“Nah kalo pekerjaan dokter kecantikan musnah dari muka bumi, lo tau gak lo harus kerja apa?” Jenna menantang Audrey.

“Pekerjaannya boleh musnah tapi kan tujuannya jelas Jenna. Gue tetap akan menyebarkan pengetahuan akan kesehatan kulit dan wajah, kepada para wanita di luar sana, apapun mediumnya.”

“Darn it!” Jenna berdiri dari kursi di hadapan Aurey, dan berjalan menuju tempat tidur. Ia berhenti sesaat, lalu naik dan berbaring di sana, memejamkan matanya. Audrey yang melihat kelakuan sahabatnya hanya menghela napas dan memutar kedua bola matanya.

“Lo tau alasan kenapa lo ada di dunia?” Audrey tahu, pertanyaan yang satu ini akan mengganggu Jenna. Sangat.

“Pertanyaan sialan itu juga ditanya Ryan ke gue minggu lalu. Dan selama seminggu gua gak bisa tidur karena gua tak tau jawabnya. Dan sekarang elo nanya pertanyaan yang sama. Gua gak akan tidur lagi selama seminggu ke depan!” Jenna menjawab ketus, matanya tetap terpejam.

“Bagus deh kalo lo udah mulai kepikiran hal-hal begini. Mau kapan lagi Jenna? By the way, bisa gak boots lo di lepas?!” Audrey berkata lugas, yang diikuti dengan Jenna yang membuka bootsnya tanpa bangkit dari tempat tidur.

“Kenapa harus dipikirin sih hal-hal kayak gitu?”

“Ya dipikirin dong! Masa lo mau kerja doang ampe mati ga ngerti buat apa? Sehebat-hebatnya juga elo kerja, setinggi apapun jabatan lo, kalo lo gak ngerti kenapa lo melakukan itu, ya kayak robot aja!” Audrey mulai tak sabar.

“Selama ini gua baik-baik aja tanpa pertanyaan sialan itu!”

“Selama ini lo tau kenapa kerja di advertising agency?”

“Ummm… Karena pas kuliah mata kuliah periklanan menarik banget bagi gue…”

“Bagian apanya yang menarik?”

“Well…apa yaaa… Ketika bisa menyampaikan pesan dengan menarik ke orang…” Jenna menjawab perlahan, sambil tetap memejamkan mata.

“Jawaban lo standard! Basi tau gak!”

“Sialan!”

“See, lo emang bodoh lagi Jen! Elo aja berpikir kalo selama ini lo cewek pinter!” Audrey menjawab santai.

“Apa lo bilang?!!!” Jenna berteriak dan serta merta bangkit. Kepalanya terantuk lampu yang memang di letakkan di bagian kepala tempat tidur. “Awwww!!!!” Jenna meringis.

“Kan, bodoh.  Gak berubah juga dari dulu…” Audrey menggelengkan kepalanya.

“Kok lo ngatain gue bodoh sih! Apa buktinya gue bodoh?! Dari jaman SMA nilai gue bagus, IPK gue hampir empat, karir gue bagus, gue menang banyak award dan sekarang buktinya gue dipromosiin jadi Creative Director!” suara Jenna meninggi, sambil tangannya mengusap kepalanya. Ia kini telah duduk di atas tempat tidur.

“Yah karena elo memberi nilai hidup lo cuma sebatas nilai rapor, IPK dan jabatan kantor atau gaji gede. Nilai lo lebih dari semua itu digabung, tau gak!” Audrey berdiri dan menghampiri Jenna di tempat tidur. Kini mereka berdua duduk bersebelahan.

“I’m sorry. Gue tarik kembali kata-kata gue soal lo bodoh. Lo gak bodoh Jen, lo pintar dan kuat. Tapi seringkali kepintaran dan kekuatan itu yang menghalangi lo.”

“Maksudnya menghalangi gue?”

“Menghalangi lo untuk tidak menjadi pintar dan tidak menjadi kuat. Menghalangi lo untuk punya ruang dimana ada ketidak sempurnaan, ketidak jelasan, hal-hal yang tidak lo bisa pikirkan dengan logika. Termasuk kenapa Ryan memilih untuk membangun shelter daripada jadi Creative Director di advertising agency multinasional nomer satu di Jakarta.” Audrey menjelaskan panjang lebar, perlahan.

“Ya harus jelas dong semuanya, buang-buang waktu kalo gak jelas, gak terukur!” Jenna menjawab ketus. Dia mulai tak sabar dengan percakapan ini.

“Selama ini gue liat elo itu lari cepat banget. Saking cepatnya lo gak sempet lihat pemandangan di sekitar elo. Mungkin saking cepatnya lo lari, lo mulai gak ngerti ato lupa apa dan kemana tujuan lo berlari. Lo tau lo sedang berlari kemana Jenna?” Audrey bertanya lemah lembut.

“ Gak tau…” Jenna menjawab lirih. Mukanya muram dan bertekuk.

“Coba deh untuk berhenti berlari. Gak ada salahnya. Lihat dan nikmati pemandangan dan segala hal yang terjadi di sekitar lo. Dan coba renungkan lagi, kemana tujuan lo…”

“Gak ngerti gue, kalimat lo puitis banget!” Jenna mendengus.

“All I’m saying, lo mending renungkan, kenapa saat elo dipromosiin jadi Creative Director, lo malah jadi kebakaran jenggot? Seinget gue, lo selalu pingin jadi Creative Director hebat kan. Nah kenapa lo sekarang jadi bingung gini cuma karena pilihan hidup Ryan?”

Jenna menghela napas panjang. Kepalanya tertunduk, bahunya terkulai. Audrey merangkulkan tangannya ke bahu Jenna,

“Dari jaman sekolah, gue selalu melihat lo sebagai seseorang yang mencari tempat yang tepat. Coba liat sekarang warna baju lo, meriah dan menyenangkan. That’s how you should be. Tapi ketika hanya tampilan luar lo yang terlihat senang dan berwarna-warni namun hati lo tidak senang, ada sesuatu yang harus dibereskan Jenna…”

“Tapi gue gak ngerti apa!”

“Yah gak harus langsung mengerti sekarang. Tidak segala hal harus lo pahami kok Jen. Banyak hal yang gagal terpahami oleh otak dan hanya mampu dimaknai oleh hati. Kapan lo terakhir kali memaknai dengan hati?” Audrey tersenyum.

“Audrey, gue harus ngapain dong?” Jenna mendongak dan menatap Audrey.

“Take your time. Nikmatin hidup Jen, nanti juga ketemu jawabannya! Lo harus balik ke kantor ga? Gue masih punya tiga pasien lagi, abis ini kita late lunch yuks, lo makan apapun yg lo mau deh, my treat!”

“Gak mau. Gue juga gak mau balik ke kantor. I lost my appetite. I lost my energy. Gue mau pulang aja, tidur. Pusing…” Jenna turun dari tempat tidur dan memakai sepatunya. Dia mengambil tasnya di kursi, membuka pintu dan keluar tanpa berkata-kata lagi. Audrey hanya menghela napas menatap sahabatnya keluar dari ruangannya.

 

 

Jenna selonjoran di sofa, matanya kosong menatap TV. Tangannya sibuk mengganti saluran TV. Setelah beberapa waktu, ia melempar remote nya ke sofa dan mengambil sebungkus keripik kentang dan mulai memakannya. Matanya tetap menatap kosong. Ipad dan iphone nya tergelatak di meja, di antara keripik kentang, es krim, kue coklat dan mangkuk kosong bekas indomie goreng dengan telur.

Jam tujuh malam dan Jenna tahu ada banyak email sejak tadi dia ijin tidak balik ke kantor. Beberapa panggilan tak terjawab di iphonenya. Akhirnya setelah beberapa kali, sepertinya para teman dan kolega nya mengerti kalau Jenna sedang tidak ingin diganggu. Jenna menghela napas. Tiba-tiba iphonenya kembali berdering. Jenna tidak menghiraukannya.  Dering kedua. Lalu ketiga. Dan keempat, kelima, keenam. Tak sabar, Jenna melihat layar telponnya dan melihat sebuah nama: Nick. Belum sempat dia bereaksi, pintu kamarnya diketuk.

“Yuhuuuu, Jenna, di dalam gak? Buka dong pintunya. Saya gak berhenti ngetuk nih sampe dibukain!” suara Nick terdengar riang.

Jenna menghela napas. Berpikir keras, apakah ia harus membuka pintu atau berpura-pura ia tidak ada di kamarnya. Belum kelar ia berpikir, Nick kembali mengetuk kamarnya, lebih menggila kini.

“Jenna, kamu mau saya ngetuk pintu sambil nyanyi ga? Saya nyanyi yaaa. Satu, dua, ti..” belum kelar Nick berkata, Jenna tiba-tiba membuka pintu, dengan muka bertekuk tujuh.

“Nick! Ngapain sih! Sekarang bukan saat yang tepat! Gue lagi mumet, lo bikin gue tambah mumet tau gak!” Jenna menghardik.

“Ah, kalau lagi mumet, pas dong, saya bawain martabak keju susu. Kamu pasti kalo stress maunya makan kan? Lha wong gak stress aja makan mulu…” Nick berkata santai sambil ngeloyor masuk ke kamar Jenna, yang berusaha menahan namun gagal.

“Terserah deh. Gue lagi males berantem ama lo!” Jenna mendengus, tangannya terlipat di dada dan menatap tajam Nick yang sudah duduk santai di sofa.

“Tuh kan, kamu pasti  abis makan banyak ya. Nih ada martabak!” Nick tersenyum menatap Jena.

“Udah kenyang!” Jenna menjawab judes sambil duduk di samping Nick. Pemuda itu terlihat tidak peduli dengan sikap Jenna. Dia sibuk membuka bungkus martabak dan melahap satu potong dengan nikmat. Jenna menelan ludah menatapnya.

“Yakin gak mauuuu?” Nick melirik ke arah Jenna, mulutnya penuh dan berminyak.

“Bagi satu!” Jenna tetap judes, mengambil satu potong martabak dan mulai memakannya. Nick mulai mengambil potongan kedua. Tak lama Jenna mengikuti. Potongan ketiga, keempat. Dan dalam tujuh menit, martabak keju itu tandas oleh mereka berdua. Nick melirik Jenna yang masih mengunyah potongan terakhir,

“Kamu jelek banget! Mulutnya berminyak, penuh gitu!” Nick tersenyum jail.

“Sama, lo juga jelek banget!” Jenna menjawab dengan mulut penuh. Ia kemudian menjilat jari-jarinya. Dan tiba-tiba mulai tertawa. Nick yang melihatnya juga ikut tertawa. Mereka berdua tertawa terbahak-bahak. Dan tiba-tiba Jenna mulai menangis. Nick berhenti tertawa dan menatap Jenna.

“Ho oh…did I ruin your diet?”

“It’s not that silly!” Jenna tertawa diantara isaknya.

“Okay, saya sudah kenyang, kamu sudah bisa ketawa kan walo sambil nangis. Dasar gadis aneh! Saya balik dulu ya. Besok kan Sabtu, saya jemput jam setengah enam pagi, jam lima saya telpon supaya kamu bangun.” Nick tersenyum sambil berjalan ke arah pintu.

“Kenapa siih harus pagi mulu kalo mo jalan?” Jenna mendengus.

“See you tomorrow!” Nick menatap Jenna, mengacak-acak rambutnya lalu berlalu.

Jenna menutup pintu dan menghela napas. Lalu dia melihat sampah makanan di meja dan stress menyadari dia sudah makan terlalu banyak. Sangat banyak. Panik Jenna mulai membereskan meja. Iphonenya berbunyi, whassap dari Nick,

“Pasti kamu lagi stress kan, ngeliat betapa banyak kamu makan? Hahhaha, makanya besok bangun pagi, we’ll do something to beat those junk food!”

Jenna menatap layar iphonenya dan menggelengkan kepala, tersenyum.

 

 

 

 

 

 

To be continued….

 

 

This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

2 thoughts on “UNFINISHED LOVE STORY PART 4

Leave a comment